Pendidikan di semua jenjang bertujuan untuk menghasilkan lulusan yang tidak hanya berilmu, tapi juga bermoral dan berkualitas. Termasuk pada jenjang pendidikan perguruan tinggi, dimana setiap mahasiswa juga dibentuk untuk menjadi lulusan – lulusan yang mempunyai andil besar pada kemajuan masyarakat melalui peran – peran pengabdiannya di berbagai bidang. Setiap mahasiswa tentu mempunyai orientasi mendapatkan nilai yang baik selama perkuliahan karena nilai tersebut merupakan tolak ukur keberhasilan mahasiswa, keberhasilan studi yang ditempuhnya selama bertahun – tahun. Selama proses pendidikan di kampus, mereka dihadapkan pada banyak tugas, juga diharuskan mengikuti serangkaian ujian sampai dengan masa pendidikannya berakhir. Orientasi nilai yang baik, umumnya tidak selalu diiringi dengan proses yang baik untuk mendapatkannya. Banyak praktik – paktik kecurangan yang terjadi di sana. Bahkan dunia pendidikan tinggi kembali dihentak dengan kasus kecurangan akademik yang dilakukan oleh civitas academica. Hal ini menunjukkan realitas bahwa pendidikan di Indonesia belum cukup berhasil menciptakan moral yang baik. Menurut Purnamasari ( 2013) kecurangan akademik merupakan perilaku tidak jujur yang dilakukan mahasiswa dalam setting akademik untuk mendapatkan keuntungan secara tidak adil dalam hal memperoleh keberhasilan akademik. Colby (2006) menyebutkan kategori kecurangan akademik, seperti : plagiat, pemalsuan data, penggandaan tugas, menyontek pada saat ujian, dan kerjasama yang salah. Kurniawan (2014) menyatakan bahwa setiap orang mempunyai kebutuhan – kebutuhan yang lebih sehingga dapat menjadi pendorong terjadinya kecurangan.
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut seseorang akan melakukan apa saja demi memenuhi kebutuhannya meskipun harus dengan melakukan kecurangan sekalipun. Mahasiswa yang melakukan kecurangan yang didasarkan pada kebutuhan untuk mendapatkan nilai baik maka kecurangan akademik yang dilakukan mahasiswa akan semakin tinggi. Plagiarisme merupakan perilaku curang yang paling sering dilakukan oleh mahasiswa. Plagiarisme atau plagiat adalah tindakan mencuri ( gagasan / karya intelektual ) orang lain dan mengklaim atau mengumumkan sebagai miliknya ( Putra, 2011 ). Sedangkan menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No.17 tahun 2010 plagiat merupakan perbuatan secara sengaja atau tidak sengaja dalam memperoleh atau mencoba memperoleh kredit atau nilai untuk suatu karya ilmiah, dengan mengutip sebagian atau seluruh karya dan / atau karya ilmiah pihak lain yang diakui sebagai karya ilmiahnya, tanpa menyatakan sumber secara tepat dan memadai.
Plagiarisme merupakan anak kandung dari kultur suka mengambil jalan pintas, tidak adanya sikap menghargai proses disertai tidak adanya rasa tanggung jawab. Budaya ilmiah yang penuh dengan etika dan proses yang selektif ternyata belum menyentuh lembaga – lembaga pendidikan formal dari level pendidikan dasar hingga ke pendidikan tinggi. Bahkan terkadang perguruan tinggi malah menjadi lahan dari praktik plagiasi. Perkembangan teknologi informasi yang menyebabkan mahasiswa begitu mudah memperoleh bahan – bahan perkuliahan, tingginya beban tugas dengan waktu yang terbatas, tidak adanya kesadaran akan tindakannya memplagiat dan keinginan menyelesaikan tugas dengan instan merupakan beberapa alasan yang memicu terjadinya plagiarisme. Terutama bagi mereka, mahasiswa – mahasiswa tingkat akhir yang masa studinya hampir habis. Tujuan dari plagiarisme bagi mahasiswa – mahasiswa tipe ini diantaranya adalah untuk mempercepat hasil tugas akademiknya dan mendapat nilai baik. Tindakan ini oleh Max Weber disebut sebagai tindakan rasionalitas instrumental. Yaitu tindakan yang ditentukan oleh harapan terhadap perilaku objek dalam lingkungan dan perilaku manusia lain, harapan – harapan ini digunakan sebagai syarat atau sarana untuk mencapai tujuan – tujuan aktor lewat upaya dan perhitungan yang rasional ( George dan Douglas, 2009:137 ). Berbeda halnya dengan tindakan rasionalitas nilai yang mengutamakan kebenaran dengan ditentukan oleh tindakan kesadaran. Pada tindakan rasionalitas nilai, mahasiswa menjadikan kegiatan membaca buku sebagai sebuah kebutuhan dalam proses perkuliahan, tetapi sebagian besar lagi menyebutkan bahwa membaca buku menjadi bagian hidup mereka, bagian dari hobi yang dilakukan sebagai rutinitas ( Lilik Yunita, 2012:134 ). Rasionalitas nilai yang digunakan oleh Max Weber adalah merupakan tindakan yang ditentukan oleh keyakinan penuh kesadaran akan nilai – nilai perilaku etis, estetis, religious, atau bentuk perilaku lain yang terlepas dari prospek keberhasilannya ( George dan Douglas, 2009:137 ). Perilaku plagiarisme secara tidak langsung menjadikan mahasiswa mematikan daya nalar dan kemampuan berpikir kreatif dan kritis.
Mahasiswa dengan kebiasaan membaca yang baik, relatif mampu mereduksi perilaku plagiarisme. Karena dengan membaca seseorang dapat memperluas cakrawala berfikir yang kaitannya dengan pengembangan ilmu pengetahuan ( Dahlan, 2008:21 ). Hal ini berpengaruh terhadap daya tahan mahasiswa dalam menyelesaikan tugas penulisan selama masa perkuliahan dengan baik. Karena dengan membaca, mahasiswa memiliki media informasi yang menjadikannya mampu berpikir untuk kemudian diikuti dengan kemampuannya menulis dan memecahkan masalah. Termasuk dalam hal ini masalah dalam belajar, dalam tugas – tugas perkuliahan. Membaca sendiri merupakan literasi dasar yang sudah seharusnya melekat sebagai kultur mahasiswa dalam kehidupan akademiknya. Dengan literasi yang baik pula ( dalam hal ini membaca ) maka perilaku kecurangan akademik khususnya plagiarisme secara perlahan diharapkan bisa dihilangkan.
Pen. Laily Mustikasari