Rabu, 24 Januari 2023, penulis baru saja mengisi sebuah acara seminar literasi yang dilaksanakan di Pondok Pesantren Darul Amanah, Jawa Tengah. Acara ini diikuti oleh seluruh santri kelas 6 (setara kelas 3 SMP) santri Pondok Pesantren Darul Amanah.
Pada kesempatan itu, penulis berusaha membagikan fakta mengenai sejarah literasi peradaban Indonesia, terkhusus peradaban Islam yang ternyata sangat kental. Bermula dari keluhan sastrawan Taufik Ismail yang mengeluhkan mengenai keadaan masyarakat Indonesia yang memiliki penyakit tuna baca dan pincang menulis.
Padahal telah jelas bahwa budaya literasi itu sangat penting dalam perkembangan sejarah peradaban umat manusia. Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan bahkan juga menegaskan mengenai pentingnya literasi sebagai pilar pendidikan di abad 21 saat ini.
Lebih jauh lagi, Jack Goody melalui bukunya The Logic of Writing and the Organization of Society telah sampai pada kesimpulan bahwa keberadaan tulisan pada faktanya ternyata berperan sebagai token perkembangan kognitif dan sangat memberikan pengaruh pada majunya suatu peradaban manusia.
Simpulan itu ia temukan lewat kajian perbandingan sejarah dan kehidupan sosial antara peradaban kuno Mesopotamia, Sumeria, dan Mesir dengan peradaban kerajaan kuno di Afrika bagian barat seperti La Daaga, Asante, dan Dahomey.
Hasilnya didapati bahwa peradaban dengan budaya literasi yang tinggi ternyata sangat menunjang perkembangan peradaban manusia kala itu di berbagai sektor. Semua itu dilatarbelakangi karena budaya literasi yang kuat dapat mendorong manusia untuk berkembang dalam taraf kehiduapan yang lebih baik.
Hal ini juga bisa kita baca faktanya melalui negara-negara yang berkategori maju saat ini. Finlandia, Belanda, Jepang, dan negara-negara yang masuk kategori maju lainnya memiliki corak yang sama, yaitu budaya literasi yang kuat di negara mereka.
Lantas, bagaimana dengan Indonesia? Negara yang disebut-sebut sebagai wonderland (negeri ajaib) ini ternyata memiliki kualitas literasi yang begitu rendah dalam penilaian PISA. Lantas, mengapa bisa demikian? Mengapa kualitas literasi Indonesia begitu rendah padahal kualitas SDM-nya begitu melimpah?
Setelah melalui berbagai riset yang ada, di sinilah penulis sampai pada kesimpulan bahwa penyebab terbesa rendahnya kualitas literasi masyarakat Indonesia adalah karena terputusnya rantai sejarah fakta identitas bangsa dan agama kita yang sangat kental dengan budaya literasi.
d
Terputusnya Rantai Sejarah
Seorang novelis dari Italia, Milan Kundera pernah menyatakan bahwa salah satu cara terbaik untuk menghancurkan sebuah peradaban adalah dengan menghancurkan buku-buku yang berkaitan dengan peradaban tersebut, maka pastilah akan hancur peradaban tersebut.
Menghancurkan buku di sini bisa bermakna meniadakan keberadaan buku tersebut atau dengan merubah isi buku itu sendiri. Adapun tantangan besar yang saat ini sedang mengintai peradaban kita adalah buku-buku sejarah bangsa kita yang tidak sesuai dengan fakta sejarah yang terjadi.
Permasalahan ini juga pernah dideteksi oleh Buya Hamka melalui Tafsir al-Azhar-nya. Beliau melihat bahwa berbagai upaya telah dilakukan oleh musuh-musuh Islam untuk meniadakan unsur nilai keislaman dalam pengajaran sejarah sejak tahun 1960-an.
Fakta kuatnya budaya literasi dalam sejarah peradaban bangsa kita ini telah ditutupi dengan sempurna di buku-buku pelajaran sejarah kita. Terlebih ketika membahas mengenai pelajaran sejarah, banyak tokoh-tokoh nasional kita yang dihilangkan wajah budaya literasi dalam biografi hidup mereka.
Soekarno misalnya, tetap berusaha menulis walaupun berada di balik jeruji penjara. “Mereka dapat memenjarakan saya, namun tidak pada pemikiran saya”, tegasnya di balik jeruji penjara. Dari sini sudah nampak bahwa tokoh nasional kita sudah memiliki jiwa berliterasi yang kuat sedari dini.
Tidak hanya Soekarno saja, KH. Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asy’ari, Prof. BJ Habibie, dll. merupakan tokoh-tokoh nasional kita yang memiliki budaya literasi yang kuat dalam diri mereka. Hanya sayang saja apabila sejarah budaya literasi mereka tidak tersampaikan dengan baik kepada generasi muda saat ini.
Lantas, bukankah kita bertanya-tanya mengenai alasan tokoh-tokoh besar itu memiliki budaya literasi yang kuat dalam diri mereka? Apa yang menjadi alasan utama mereka dalam membangun budaya literasi yang kuat dalam dirinya?
Kenapa generasi muda kita saat ini justru sangat jauh berbeda budaya literasinya dari para tokoh-tokoh nasional kita dahulu? Apa penyebabnya? Apa yang menyebabkan mereka berbeda? Apa yang menjadi alasan tokoh-tokoh itu memiliki budaya litetasi yang kuat? Apa dan mengapa?
Bersambung di artikel setelahnya …
5 Comments
Keren admin, Sukses selalu
Trimakasih kak, selalu ikuti perkembangan artikel perpustakaan ya!
Makasih infonya sukses terus kak
Aamiin, semoga bermanfaat juga kak :)
[…] Oleh : Muhamad Redho Al Faritzi […]