Neil Postman: Matinya Institusi Pendidikan

Sekolah merupakan tempat yang dipilih oleh mayoritas orang tua untuk menjadi pelarian utama dalam membelajarkan anak-anaknya. Sebagai rujukan utama dalam menyekolahkan anaknya, kedudukan sekolah ini sangat penting bagi para orang tua.

Terlebih dengan kehadiran pandemi di tanah air kita, nampak nyata bahwa banyak orang tua ternyata tidak siap untuk menggantikan peran sekolah dalam mendidik anak-anaknya. Terlebih hal ini diperparah dengan adanya sekolah yang kehilangan maknanya sebagai sebagai wahana pendewasaan bagi anak-anak.

Neil Postman seorang analis pendidikan dari Inggris yang menulis buku berjudul The End of Education memandang serta mengkritisi peran institusi sekolah yang tidak berperan sebagaimana mestinya dalam mendewasakan anak-anak.

Melalui bukunya, Postman berusaha menyampaikan gagasannya pada dunia pendidikan mengenai permasalahan yang dia temukan dalam proses pembelajaran di sekolah. Permasalahan itu Postman namai sebagai “Matinya Sekolah”

Redefinisi Nilai-Nilai Pendidikan di Sekolah

pendidikan
gerak.id | Buku Matinya Pendidikan

Pertanyaan di buku itu menggelitiki alam bawah sadarku. Apa bedannya sekolah dengan ruang penjara apabila ruang-ruang kelasnya justru berfungsi sebagai pengurung bagi kebebasan peserta didik? Ketika pintu tertutup, seakan-akan suasana kelas beruhan seperti sidang penghakiman terdakwa sebuah kejahatan.

Bagaimana bisa menjadi wahana pendewasaan yang baik bagi anak-anak, kalau bangku-bangku sekolahan itu justru memaku tubuh dan kebebasan siswa dalam mengutarakan bahasa tubuhnya dengan baik.

Terlebih ada juga guru-guru yang ketika masuk kelas justru tidak berperan sebagai seorang pendidik, namun justru berperan seperti sipir penjara yang mencari-cari kesalahan peserta didiknya.

Kenapa sipir penjara? Karena mereka marah ketika dikritik, menolak ketika ada usulan, membentak ketika murid melakukan kesalahan, dan bermudah-mudahan dalam memukul ketika dirasa ada kesempatan untuk memukul.

Di samping hal-hal yang bersifat teknis, pada hal yang berkaitan dengan mata pelajaran pun hanya sebatas disesakkan ke otak siswa secara paksa. Kesadaran siswa untuk berkembang hanya diciptakan berdasarkan pola-pola ancaman, keresahan, dan hukuman oleh guru.

Alhasil, berangkat ke sekolah dianggap sebagai beban yang sangat besar bagi para siswa. Sekolah tidak lagi menjadi tempat yang nyaman bagi seorang siswa untuk tumbuh berkembang. Di bawah tekanan, ancaman, dan paksaan, apakah siswa mampu memakai setiap proses pembelajaran yang mereka jalani?

Schwarzer Paedagogic (Pedagogi Hitam)

Pakar pendidikan H.G Wells pada tahun 1981 melalui catatan penelitiannya yang berjudul The Catastrope of Education mengatakan bahwa, “Semakin tumpulnya etika sosial masyarakat tidak dapat tidak karena semakin suburnya praktik anomali dalam sistem pendidikan, sebagai salah satu penyebab terbesarnya.”

Hipotesisi Wells ini dilatarbelakangi atas dasar gejolak ketidaknormalan pada sistem pemerintahan, sistem sosial, dan terkhusus pada sistem pendidikan di negara-negara berkembang saat itu.

Wells mengkhawatirkan berbagai anomali yang terjadi di dunia pendidikan ini karena akan memberikan dampak pada berbagai sektor lainnya. Sekali lagi, sekolah waktu itu menunjukkan anomali-anomalinya sebagai sebuah institusi yang tidak ideal bagi anak-anak.

Di sekolah anak-anak tidak bersemangat dalam belajar, sedih, takut, tertekan, dan tidak bisa bebas mengutarakan ekspresinya kepada guru. Di sekolah, Anak-anak itu kehilangan haknya sebagai seorang anak yang seharusnya menikmati masa-masa bermain sebagai bentuk dari proses pendewasaannya.

Mereka kehilangan kesempatannya untuk menjadi seorang anak yang seharusnya didewasakan dengan proses bermain dan bercanda di dalam sekolah. Institusi pendidikan sekolah perlahan menjelma menjadi pabrik perancang robot yang penuh akan kekangan dan paksaan.

Prof. Kurt Singer dalam bukunya yang berjudul Jika Sekolah Membuat Sakit telah menjelaskan panjang lebar mengenai berbagai anomali yang terjadi dalam dunia pendidikan. Singer melihat bahwa sekolah bukan lagi tempat yang nyaman bagi anak-anak untuk belajar.

Sekolah berubah menjadi sebuah lingkungan yang penuh akan sensor pengawasan kebebasn siswa yang justru mematahkan bakat dan gairah anak untuk belajar. Prof. Singer menyebut sekolah yang seperti ini sebagai Schwarzer Paedagogic (Pedagogi Hitam).

Gejala anomali Schwarzer Paedagogic yang di temukan oleh Singer ini setidak-tidaknya memiliki tiga faktor penyebab. Pertama, banyaknya guru yang berperan sebagai komandan militer, yang tidak mengenal kata maaf kepada siswa.

Kedua, sistem pendidikan yang diterapkan oleh sekolah cenderung seperti sistem penjara yang tidak pernah memberikan kebebasan kepada siswa untuk berpikir dan bergerak sesuai usiannya. Ketiga, dosen atau guru bermudah-mudahan mengambil alternatif yang mudah dalam hal jual beli nilai kepada siswa.

Segala permasalahan di atas pada dasarnya disebabkan karena pendidikan kala itu melahirkan generasi yang tunduk pada kultur budaya dunia. Untuk merespon permasalahaan ini, maka visi pendidikan di masa depan haruslah jelas untuk menghasilkan manusia yang beriman kepada Tuhan.

Pendidikan yang melahirkan manusia-manusia anti terhadap Tuhan hanya akan menjadi bibit penyebab kerusakan di masa yang akan datang. Oleh karena itu, pendidikan harus dirumuskan untuk mampu melahirkan manusia-manusia yang mengakui adanya eksistensi ilahi yang mengatur segala penciptaan alam semesta.

Dengan demikian, pendidikan diharapkan tidak hanya bertujuan untuk membentuk lulusan-lulusan yang pintar saja, namun juga lulusan-lulusan yang religius dan berjiwa humanis di saat yang bersamaan.

Stakeholders dunia pendidikan yang terdiri dari pihak sekolah, masyarakat, dan pers juga harus dioptimalkan untuk membangun lingkungan learning society yang ideal di dalam lingkungan sekolah.

Jika Stakeholders dunia pendidikan ini dioptimalkan fungsionalnya, maka anomali-anomali pendidikan akan semakin berkurang ke depannya karena semakin ketatnya kontrol dari Stakeholders yang bersangkutan.

Alhasil, keberhasilan pendidikan tidak lagi hanya diukur berdasarkan tingginya academic competency, namun keberhasilan pendidikan akan dinilai berdasarkan baiknya moral competency peserta didik.

 

Oleh: Krisna Wijaya

Baca juga Tombah Peradaban

 

3 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Jelajahi Cakrawala di Perpustakaan!

Kami menyediakan berbagai layanan dan sumber intelektual untuk mendukung berjalannya Tri Dharma Perguruan Tinggi!

Our Services

Digital Library

Open Acces Catalog

Repository

Bebas Pustaka

Journal International

Top Features

Digital Corner

BI Corner

References Room

Scan and Copy Document

Food Court

© 2024 IT UNIDA Library