Minat Membaca Buku
Ucapan seperti ini adalah ucapan yang sering dilontarkan oleh orang-orang yang tidak tahu-menahu tentang betapa pentingnya sebuah buku. Buku adalah sesuatu yang sederhana, namun dapat mengubah dunia. Itulah mengapa dari pelbagai kalangan, pepatah, motivator, ulama ataupun tokoh-tokoh selalu mengingatkan betapa pentingnya membaca
Menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001 persen. Berarti hanya ada 1 dari 1.000 orang yang rajin membaca. Data tersebut menempatkan Indonesia di peringkat terendah kedua versi UNESCO (Kompas.id). Tidak hanya itu, berdasarkan studi “Most Littered Nation In the World” yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan meraih peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat baca.
Ini merupakan bukti betapa rendahnya minat baca kita sebagai warga negara Indonesia. Generasi kini lebih suka bermain gadget berjam-jam sampai lupa waktu, sedangkan selalu mengantuk ketika membaca buku.
Berbeda dengan masyarakat Eropa, mereka dikenal sangat gemar dalam membaca. Bahkan, setiap siswa bisa membaca puluhan buku dalam setahun. Finlandia contohnya, negara ini tercatat sebagai negara dengan tingkat literasi tertinggi di dunia. Hal ini disebabkan negara ini menjadikan kegiatan membaca sebagai budaya.
Kemudian di Jepang, mereka memiliki satu hari yang di mana para siswa tidak boleh melakukan aktivitas lain selain membaca. Ini menunjukkan akan kesadaran mereka betapa pentingnya membaca dan mempunyai sistem pendidikan yang mendorong mereka untuk membaca. Berbeda dengan Indonesia, Taufik Ismail menyebut masyarakat Indonesia sebagai tunabaca dan pincang menulis.
Generasi sekarang lebih memilih menghabiskan uangnya untuk sesuatu yang jauh dari kata manfaat, dibandingkan untuk membeli buku. Rasanya sayang sekali jika uang dikeluarkan untuk membeli buku. Benar apa yang dikatakan Prof. Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi, bahwa sekarang orang-orang membeli buku harga 100 ribu itu (terasa) mahal, namun jika nongkrong di kafe menghabiskan 200 ribu itu (dianggap) murah. Hal ini memberikan arti bahwa orientasi perut lebih besar daripada orientasi
Buku dan Kebebasan
Abdurrahman Wahid atau biasa disapa Gus Dur, pernah berkata bahwa hanya orang bodoh yang mau meminjamkan bukunya dan hanya orang gila yang mau mengembalikan buku yang sudah dia pinjam. Perkataan presiden keempat ini tentunya memiliki makna tersirat di dalamnya. Terlepas itu bercanda atau bukan, tapi dia telah mengingatkan bahwa buku adalah sesuatu hal yang penting dan berharga.
Buku bukan hanya jendela dunia tetapi ia juga adalah semesta dan cakrawala. Membaca buku harus menjadi satu hal yang wajib dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga buku itu diibaratkan oksigen, yang jika kita tidak hirup itu rasanya sesak sekali.
Menurut Najwa Syihab, bisa membaca buku dan suka membaca buku adalah dua hal yang berbeda. Orang yang suka membaca buku sudah pasti bisa membaca, namun orang yang bisa membaca buku belum tentu ia suka membaca. Artinya, banyak sekali orang yang bisa membaca, tapi tidak sampai pada level suka membaca dan tidak mau menggunakan kemampuan membaca itu untuk suka membaca.
Ibnu Sinnaernah berkata bahwa semakin bertambah bacaan dan informasi yang kau dapatkankan semakin luas kapasitas otakmu. Artinya membaca bukan hanya dapat meluaskan pengetahuan dan wawasan saja, tetapi mampu meluaskan kapasitas otak kita juga. Maka dengan membaca, kita dapat mengenal dunia dan menjadi pribadi yang memiliki pengetahuan serta wawasan yang luas.
Dalam al-Qur’an surat Al-Alaq, ayat satu, manusia diperintah untuk membaca. Mengenai perintah membaca ini, Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafsirnya, bahwa di antara kemurahan Allah Swt. adalah mengajarkan kepada manusia mengenai hal-hal yang diketahuinya.
Hal ini menunjukkan bahwa Allah telah memuliakan dan menghormati manusia dengan ilmu. Ilmu merupakan bobot tersendiri yang membedakan antara Abul Basyar (Adam) dengan malaikat. Ilmu itu adakalanya berada di hati, adakalanya berada di lisan, adakalanya pula berada di dalam tulisan tangan. Berarti ilmu itu mencakup tiga aspek, yaitu di hati, lisan, dan  tulisan. Sedangkan yang di tulisan membuktikan adanya penguasaan pada kedua aspek lainnya, tetapi tidak sebaliknya. (Tafsir Ibn Katsir)
Hal tersebut menunjukkan pula bahwa ilmu itu tidak lepas dari namanya membaca. lmu terlahir dan hadir dalam diri kita dari kegiatan membaca. Jika tidak ada kebiasaan membaca, maka jangan berharap ilmu lahir dan hadir dalam diri kita. Dan jika tidak ada Ilmu dalam diri kita, jangan berharap kita dikatakan sebagai manusia.
Tidak mempunyai buku, sudah bukan lagi menjadi alasan. Kita bisa meminjam kepada Teman, kerabat guru atau perpustakaan sekalipun. Harga buku pun jikasih dijadikan alasan, maka sebagaimana yang dikatakan Prof. Dr. Hamid Fahmiarkasyi tadi, itu artinya orientasi otak tidak diprioritaskan daripada orientasi yang lainnya.
Maka dari itu, mari bercinta dengan buku. Tenggelamlah dalam setiap bait-bait tulisan dan berjelajahlah di ‘dunia lain’ yang penuh ilmu ini. So, apa salahnya memiliki buku banyak dan selalu menghabiskan uang untuk membeli buku?
Â
Membacalah untuk mengetahui masa lalu, dan menulislah untuk memberitahukan kepada masa depan.
-Fiersa Besari
“Semakin aku banyak membaca, semakin aku banyak berpikir; semakin aku banyak belajar, semakin aku sadar bahwa aku tak mengetahui apa pun.”
-Voltaire
Â
Oleh  : Muhamad Redho Al Faritzi
Editor : Krisnana