Manusia
Kehidupan saat ini merupakan era baru yang membuat segala sesuatu menjadi mudah dan serba ada. Teknologi yang semakin canggih dan maju ini sangat memudahkan manusia dalam melakukan banyak hal, seperti manusia dapat lebih mudah mengejar materi dan harta yang berlimpah demi memenuhi apa yang diinginkan.
Di saat yang sama, manusia masa kini juga semakin bersemangat untuk mengejar kesibukan duniawi tanpa mengingat peran Allah di dalamnya. Tidak terasa eksistensi keberadaan Allah pada ruang usia dan waktu kita di dunia semakin menipis.
Banyak sekali manusia yang mengeluh setiap kali selesai menunaikan sholat dan bertanya-tanya mengapa rezeki saya tidak bertambah, padahal saya selalu mentaati perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya? Nampaknya, sudah saatnya diri ini mulai mempertanyakan mengenai niat sebenarnya dari melakukan ibadah-ibadah itu.
Jika manusia hanya melaksanakan sholat demi mengejar harta, maka amalan yang dilaksanakan selama ini bukan untuk mengharap ridho ilahi, melainkan hanya materi duniawi semata. Betapa besarnya nikmat yang Allah berikan kepada manusia sehingga terkadang manusia memperlakukan-Nya seperti pelayan.
Lantas siapa sebenarnya yang dituhankan manusia saat ini? Materi atau Allah?
Menjadi Manusia Baik atau Merasa Baik?
Siapapun yang melakukan kebaikan kepada orang lain, tentu akan merasa sangat bahagia. Mungkin saat pertama melakukannya, muncul niat ingin bermanfaat bagi orang lain tetapi selanjutnya bisa saja muncul rasa bangga dan terbesit di dalam hati bahwa dirinya adalah makhluk yang paling mulia karena kebaikan yang dilakukannya.
Bersedekah kepada fakir miskin dan menyantuni anak yatim merupakan amalan yang terpuji. Apalagi jika melakukannya rutin setiap hari, akan bertambah mulia seseorang tersebut. Tetapi apabila tidak diimbangi dengan rasa qonaah, maka dikhawatirkan akan muncul rasa berbangga hati seolah berfikir bahwa dirinya lebih dermawan dari orang lain.
Ada muslimah yang menutupi aurat dengan hijabnya secara sempurna, kemudian hidup di tengah masyarakat yang tidak berhijab. Tetapi setelahnya, apabila tidak diimbangi dengan rasa rendah hati dikhawatirkan akan muncul rasa paling religius dan berpakaian paling syar’i dibanding wanita lainnya yang tidak berhijab dan membuka auratnya.
Akhirnya, seluruh kebaikan yang dilakukan oleh seseorang akan melahirkan rasa paling mulia dari orang lain. Seharusnya, suatu kebaikan yang kita lakukan selama ini patut disyukuri bukan merasa puas dan menjadi bentuk pembanding bagi orang lain.
Terkadang, kemaksiatan yang kita lakukan menghadirkan rasa keji terhadap diri sendiri sehingga sadar dan mau kembali kepada Allah. Seperti syair syekh Ibnu ‘Athaillah yang berbunyi:
“Kemaksiatan yang melahirkan rasa hina dan butuh kepada Allah, lebih bagus daripada ketaatan yang melahirkan tinggi hati dan sombong”.
Sebenarnya ketika manusia ingin berbuat kebaikan, di waktu yang sama ia juga ingin introspeksi diri bahwasannya dirinya jauh dari kata baik dan mulia. Namun untuk tetap mensyukuri kebaikan tersebut agar dapat menjadi bekal dakwah Islam bukan untuk merendahkan orang lain.
Silahkan lakukan sesuatu yang baik tanpa merasa paling baik. Lakukanlah perbuatan mulia tanpa merasa paling mulia. Perbanyaklah sedekah tanpa merasa paling dermawan. Karena apabila seseorang merasa sudah menjadi orang yang baik, maka paling itu semua akan membuka pintu keangkuhan dan kesombongan dalam jiwa manusia.
Maka sebenarnya siapa yang manusia tuhankan selama ini? Kebaikan diri atau Allah?
Menggunakan Akal atau Menuhankan Akal?
Manusia dengan akalnya dapat berfikir lebih dalam terkait ilmu pengetahuan alam semesta dan seisinya. Kemudian, setelah memahami ilmu pengetahuan yang ada, maka manusia dapat mengenal lebih jauh dengan Pencipta-Nya. Semakin jauh manusia mengenal Sang Pencipta, maka akan membentuk akhlak yang mulia baginya.
Berikut ayat Al-Qur’an yang menghimbau manusia untuk menggunakan akalnya dalam mempelajari fenomena peristiwa alam semesta.
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِى الْأَلْبَابِ (190)
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (Qs. Ali Imran: 190)
Beberapa orang di luar sana menggunakan akal sebagai prioritas utama dibanding nash atau wahyu. Dengan begitu ketika seseorang menghadapi suatu perkara di dunia, akan mengutamakan akalnya dalam menyelesaikan perkara tersebut tanpa merujuk pada nash Al-Qur’an dan hadist.
Hakikat pemikiran manusia tanpa dilandasi al-Qur’an dan hadist akan menimbulkan keangkuhan intelektual. Sehingga manusia merasa bisa melakukan segalanya tanpa adanya peran Tuhan di dalamnya. Seperti Fir’aun yang merasa dirinya pantas disembah dan memaksa semua rakyatnya untuk tunduk kepadanya.
Maka siapakah yang dituhankan manusia sebenarnya? Akal atau Allah?
Hal yang patut kita lakukan agar tidak memposisikan akal di atas segalanya yaitu dengan mengutamakan wahyu sebelum akal. Maka akal akan selalu mengikuti wahyu. Dengan begitu manusia akan patuh dan menuruti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
Saat ini manusia bukan lagi menyembah berhala dalam bentuk patung, pohon, matahari, bumi, sebagaimana zaman jahiliyah dulu, namun manusia saat ini lebih hebat persekutuannya dengan harta, jabatan, kekuasaan, bahkan akal diri sendiri. Naudzubillah…
Cara terbaik untuk menghindari persekutuan Tuhan seperti di atas yaitu dengan mungkin bersahabat dengan ketentuan-Nya. Ketika kita menghadapi segala perkara kehidupan dunia yang fana, maka segera jadikan Allah sebagai tempat curhat atau tempat kembali. Bukan lagi curhat kepada teman apalagi sosial media.
Alangkah indahnya jika manusia menjadikan Allah sebagai sahabat. Jiwa dan raga seakan sepenuhnya dekat dengan-Nya. Jangankan melanggar perintah-Nya, untuk acuh sedikit saja dengan-Nya rasanya hati begitu hampa. Dengan begitu hidup manusia akan senantiasa diberkahi dan diridhoi oleh Allah Swt. Amiin
1 Comment
[…] Baca juga Tuhan Manusia Masa Kini […]